selamatdatang


widgets

Selasa, 08 Maret 2016

ORIGAMI_LIPATAN 2

LIPATAN 2





Takdir.
Tak ada yang bisa menyangkalnya. Semua perjalanan yang berliku dan batu penghalang yang menyakitkan. Mimpi dan asa seindah angkasa, tapi realita tak sejalan. Tak ada yang bisa disalahkan dan itu terjadi begitu saja. 

Tapi sesulit apapun, sesakit apapun, terjatuh bagaimanapun, hidup selalu memberi pilihan. Tetap berdiri atau menyerah. Ini kisah yang terjadi dimasa lalu. Kisah yang tak pernah terhapus dan menjadi cerita yang menggantung pada perpisahan. 

Kisah empat remaja yang bertemu dan berpisah karena takdir. Lipatan terbuka kembali.

Farel menatap papan tulis kosong. Aku tahu perasaan itu menyiksannya. Adelia Vansha. Aku tak tahu bagaimana Farel bisa menemukan perasaannya padannya. Apa sisi menariknya yang berhasil membuka pintu hati Farel dan kemudian masuk. Farel adalah sahabatku dan aku telah mengenalnya lama. Kami hidup dan main bersama dari kecil. Kita sudah seperti saudara kandung. Orangtua kami adalah sahabat karib dari SMA. Aku ingin dia bahagia dan bersama dengan sosok yang ia cintai. Aku tak mau ia patah hati. 


Farel adalah sosok yang sulit untuk mencintai. Ia terlihat cuek diluar tapi sebenarnya ia adalah orang yang sangat peduli dan lembut. Ia tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun dan bahkan ini kali pertamaku mendengar pengakuan Farel tentang perasaannya. Aku berbeda dengannya. Aku sudah beberapa kali pacaran yang berujung putus. Aku tak pernah serius dan menganggap pacaran adalah suatu simbol yang membuatku bersinar. Setelah beberapa bulan lamannya, aku akan bosan dan berhenti. 

Farel dan aku sebenarnya sama. Kami tak mudah mencintai seseorang. Caralah yang membedakan kami. 


Aku mengingat.

Farel kecil sibuk mencari bunga melati kesukaanku sedangkan aku bermain ayunan dengan wajah gembira. Farel memberikan bunga itu padaku. Aku suka sekali bunga melati, harum dan putih lambang kebaikan dan cinta. "Rel kalau kita dewasa kita akan seperti apa ya?" aku tersenyum menatap bunga melati ditanganku. "Kita akan seperti orang dewasa lainnya, bersama dengan orang yang kita cintai" Farel menaruh telunjuk dipelipisnya
"Cinta?" aku terperangah.
Farel mengangguk dan mengayunkan ayunanku.
"Kira-kira siapa yang akan jatuh cinta pertama kali?"
Kami saling tatap. Salah satu dari kami akan menemukan cinta pertama kali. Dan kuharap akulah yang pertama kali menemukannya. 

Aku kembali dari lamunanku. Aku tahu aku belum menemukannya. Menemukan apa yang sudah Farel temukan. Selama ini hanya sandiwara. Aku pura-pura dan berusaha mencintai siapa yang datang. Aku takut tak bertemu cinta selamannya. 

Tapi aku tak bisa memaksa hatiku. Cinta datang begitu saja tak perlu dipaksa dan memaksa. Cinta datang tak bisa disangkal bahkan dibenci. 

















 

ORIGAMI_LIPATAN1

LIPATAN 1




Tirai origamiku menyeruak lebar. Mentari kini menatapku nanar dan licik. Ia tertawa melihatku menyipitkan mata karena pesona jahatnya. Alarm dilantai sudah tak bernyawa karena kubunuh sepuluh menit yang lalu. Sejenak aku benci memikirkan tirai dan alarm yang mengganggu mimpi indahku. Aku bahkan tak sadar ada yang menatapku gelisah. Mbok piyem dengan daster dan rambut kuncir sanggul tiba-tiba mengoceh dengan logat jawa.

"Non, aduh non udah jam enem non kok masih geletak aja non. Aduh piye iki non, ayo bangun toh nanti terlambat"

Itulah sambutan terbaik mbok setiap pagi. Entah mengapa ia tak pernah bosan. Semua perlengkapan sudah disiapkannya. Kemudian aku pun bersiap lima belas menit, tampil fancy dan rapi. Seperti hari-hari biasa, dibawah sudah ada Farel yang selalu memangkukan dagunnya menunggu.

"Rel...krrrr...yuk berangkat" Jentikan tanganku menyadarkan lamunannya dan kita berangkat.

Mobil melaju melesat.

"Radio 12asfmxxx, hello guys gimana pagi ini?Fancy?Sassy?or messy? Ya kembali dengan gue Albert Jones host gaul yang lagi super jomblo butuh kehangatan mau puter lagu Sam Smith yang lagi hits banget nih judulnya writting on the wall"

TUT

Radio di turn off begitu saja. 
"Ih kok dimatiin ih"  
Tangan kami beradu berebut tombol. Tapi Farel mengalah. Farel selalu mengalah untukku. Tapi aku bahkan tidak pernah mengalah untuknya. Aku merasa egois dan kuturunkan volumennya.

"Ndah, kita udah sahabatan berapa lama?" Farel berucap sambil mengetukkan tangannya.
"Au, lama banget kan ya rel. 7,eh 8, eh 9" Aku meraba kapan kami bertemu.
"10 tahun net not"
Aku mengernyit. 
"Gue pikir lo harus tau suatu hal. Sesuatu yang menyangkut perasaan"

Jantungku berdegup. Tidak mungkin. Farel menyukaiku? Benarkah? 
Persahabatan, kebersamaan, perasaan peduli yang Farel berikan padaku kupikir hanya sebatas sahabat. Apakah aku terlalu egois untuk tidak menyadarinnya? 

"Perasaan ini jatuh pada Adel" Farel menghentikan mobil dan diam.

Jawaban yang tatkala lebih mengejutkanku. Kata-kata Farel hampir menipuku dan membuatku menjadi terasa konyol. Tapi, kata-kata dia benar-benar spontan dan tak kusangka. Aku senang dia menyukai seseorang dan itu bukan aku. 

"Bagaimana ini?" Wajahnya merah padam seperti blush on.
"Bagaimana? Pertama...." aku menahan geli meilhat wajah lucunnya. Dia penasaran. "Menyetirlah dan sampailah disekolah lalu kita pikirkan selanjutnya" Aku terkekeh menepok pipinnya yang merah muda dengan pelan.




Minggu, 06 Maret 2016

ORIGAMI

-ORIGAMI-
KARYA  :  ANISA NURUL QOUMY
(Kisah yang terlipat dalam hati)






“Saya pesan satu cangkir green latte dan roti turki”
Inilah aku, seorang wanita yang kini berdiri didepanmu. Menatapmu rindu. Bukan rindu cinta. Karena itu semua sudah sirna. Cahaya langit sore menembus tirai kafe menimbulkan siluet pada tubuhku.
“Endah.” Dan kamu tersenyum. Sekarang aku tahu, senyumanmu yang telah lama mati telah hidup kembali.
Kafe ini memiliki banyak sisi yang memukau. Pantaslah, kafe ini ramai dan menjadi tempat melepas penat paling tepat dalam hari-hari yang sibuk.
“Aku tidak menyangka kau akan kemari” Ia berkata sambil membawa pesananku.
“Hidup itu memang tidak bisa ditebak” Aku menjawab perkataannya.
“Ada apa kesini?” Ia bertanya menyelidik.
“Ingin bertemu denganmu, Ridho” Aku berbisik dan memajukan kepalaku.
Ia tertawa kecil. “Bukan ingin membunuhku?” “Karena apa yang terjadi pada masa lalu?”
Aku menyeruput green latte yang berwarna hijau susu dan lezat. “Kalau hanya untuk membunuhmu itu seharusnya sudah kulakukan dari 8 tahun yang lalu”
Ridho terdiam. Ia tenggelam pada ingatannya. Aku pun sama.
Kemudian lipatan cerita itu terbuka lagi dan bekasnya masih pada tempat yang sama.










Sabtu, 27 Februari 2016

Negeri Angka

NEGERI ANGKA
(1)



Hari ini begitu cerah. Awan-awan berkumpul mengarak cahaya matahari yang memancarkan kehangatan. Bendera di ujung mataku berkibar menunjukkan ketangguhannya. Merah dan putih. Keberanian dan kesucian. Itulah pusaka  perjuangan beratus-ratus tahun yang melibatkan darah dan keberanian. Lantas, untuk apa perjuangan mereka itu? Untuk orang yang kini acuh dan lupa pada rintihan rasa sakit dan pilu? 

Upacara hanyalah simbolisasi. Simbol rasa simpati dan empati yang disandiwarakan. Bahkan walau dengan sedihnya lantunan mengheningkan cipta itu dialunkan, pikiran mengambang diatas kepala. Aku bahkan malu berada disini. Aku tak mengerti perasaan itu dalam ritme-ritmennya. Aku tak tau cara mengaplikasikannya. Udara pagi menghangatkanku tapi hati ini beku. Aku sama seperti yang lainnya. Generasi angka. Aku tak tau cara melepaskan dari jeratan ini. Semua serba salah. Tidak. Semua sudah salah dari awalnya. Bagaimana menjadi benar? Apakah itu penting? Kebenaran adalah kemustahilan dalam sesuatu yang tidak benar. Hidup ini tidak benar. Hanya ketika kematian menjemputmu, kebenaran dan kesalahan akan terungkap dan terbedakan. 


Kebenaran. Aku muak sejujurnya.  Bukan muak untuk menjadi benar. Prihatin melihat suatu yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar. Angka-angka dapat membuktikan banyak hal. Statistika, peluang, dimensi dan logika pasti. Tapi apakah angka-angka tersebut bisa membuktikan dan menunjukkan siapa yang paling benar dan salah? Tidak bisa. Angka itu buta terhadap kebenaran hakiki. Mereka membedakan hanya kepada sesuatu yang terlihat,terhitung,dan terbaca. Apa yang tak mereka liat adalah sia-sia.


Semua yang tak terlihat dianggap tabu.
Padahal sesuatu yang tak terlihat adalah yang paling berharga dan menakjubkan.

Sama halnya ketika kalian bernapas. Kalian merasakan kesegaran menjalari tubuh walau kalian tak melihat,mendengar, dan menyentuhnya. Tapi itulah yang terpenting dari semua yang terlihat,terbaca,dan terhitung. Sumber kehidupan dan keberadaan adalah sesuatu yang tak kita lihat.









NEGERI ANGKA

NEGERI ANGKA
(opening)


Inilah negeriku. Negeri elok yang kaya raya tapi miskin. Tanahnya emas, keanekaragamannya tak terhitung, dan sumber kehidupannya terjamin, Tetangga bilang negeri ini adalah surga kehidupan. Surga kehidupan bagi sang penjajah. Didalamnya terdapat kekayaan melimpah ruah dengan robot-robot yang bisa mereka kendalikan. Tak perlu membuat mesin canggih yang bisa melakukan apapun ketika melihat uang. Semua itu ada di negeri ini. Tetangga senang di negeri ini karena mereka bak seorang raja dan ratu. 

Semua karena angka. "Angka" ini adalah satu kata yang mewakili segalannya. Mewakili semua pemikiran yang menyebabkan kepatahatianku ini. Uang adalah angka, Nilai adalah angka, Kekuasaan juga angka. Hidup ini angka. Semua orang disekelilingku berjalan karena angka, berjalan menapak untuk mendapatkan peruntungan angka. Disini lengkaplah sudah karena ada yang mendongkak dan ada yang menunduk. Pemikiran mengepul disetiap langkah mereka. Berpikir langkah mana yang akan mereka ambil, mengeliminasi setiap kepentingan untuk mendapatkan angka terbaik. Kemudian mensubstitusi semua perencanaan kedalam semua tindakan mereka.

Aku salah satu yang berjalan ditengah-tengah kerumunan ini.